Kamis, 17 Februari 2011
Renungan buat mujahidah
Sepucuk warkah indah dititipkan buat "mujahidah-mujahidah di luar sana..juga ana di sini..“ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKAATUH “ seuntai kata dari warkah itu mulai di baca..“WAALAIKUMUSSALAM WARAHMATULLAHI WABARAKAATUH” jawab gadis-gadis anggun berjilbab itu-lagi.“ukhti… yang dinantikan syurga “ satu persatu murobbiyah mulai mengalirkan kata-kata dari warkah yang di bacanya..Ukhti..Labuhnya tudung dan jilbabmu tidak menjamin sama dengan besarnya semangat jihadmu menuju redha tuhanmu,mungkinkah labuhnya tudungmu hanya sebagai fesyen atau gaya zaman sekarang, atau mungkin tudung labuhmu hanya dijadikan alat perangkap busuk supaya berjaya mendapatkan ikhwan yang diidamkan bahkan mungkin tudung labuhmu hanya akan dijadikan sebagai identitimu saja, supaya bisa mendapat gelaran akhawat dan dikagumi oleh ramai ikhwan.Ukhti…tertutupnya tubuhmu tidak menjamin mampu menutupi aib saudaramu, keluargamu bahkan diri antum sendiri, cubalah perhatikan sekejap saja, apakah aib saudaramu, temanmu bahkan keluargamu sendiri sudah tertutup, bukankah kebiasaan buruk seorang perempuan selalu terulang dengan tanpa disedari melalui kata-kata umpatan yang sudah membekas semua aib keluargamu, aib saudaramu, bahkan aib temanmu melalui lisan manismu.Ukhti…lembutnya suaramu mungkin selembut sutera bahkan lebih daripada itu, tapi adakah kelembutan suara antum sama dengan lembutnya kasihmu pada saudaramu, pada anak-anak jalanan, pada fakir miskin dan pada semua orang yang menginginkan kelembutan dan kasih sayangmu..Ukhti…lembutnya parasmu tak menjamin selembut hatimu, adakah hatimu selembut salju yang mudah meleleh dan mudah terketuk ketika melihat segerombolan anak-anak Palestin terlihat gigih berjuang dengan berani menaruhkan jiwa dan raga bahkan nyawa sekalipun sehingga titisan darah terakhir, adakah selembut itu hatimu atau sebaliknya hatimu sekeras batu yang gah dan tidak terkesan melihat ketertindasan orang lain.Ukhti…rajinnya tilawahmu tak menjamin serajin dengan solat malammu, mungkinkah malam-malammu dilewati dengan rasa rindu menuju Tuhanmu dengan bangun di tengah malam dan ditemani dengan butiran-butiran air mata yang jatuh ke tempat sujud mu serta lantunan tilawah yang tak henti-hentinya beralun membuat syaitan terbirit-birit lari ketakutan, atau sebaliknya, malammu selalu di selimuti dengan tebalnya selimut syaitan dan dilayan dengan bobokan mimpi-mimpi khayalmu bahkan lupa bila bangun solat subuh.Ukhti…cerdasnya dirimu tak menjamin mampu mencerdaskan sesama saudaramu dan keluargamu, Mungkinkah temanmu boleh ikut bergembira menikmati ilmu-ilmunya seperti yang antum dapatkan, atau antum tidak peduli sama sekali akan kecerdasan temanmu, saudaramu bahkan keluargamu, sehingga membiarkannya begitu saja sampai mereka jatuh ke dalam lubang yang sangat mengerikan yaitu maksiat..Ukhti…cantiknya wajahmu tidak menjamin kecantikan hatimu terhadap saudaramu, temanmu bahkan diri antum sendiri, pernahkah antum menyedari bahawa kecantikan yang antum miliki hanya titipan ketika muda, apakah saat usia tujuh puluh tahun nanti antum masih terlihat cantik, jangan-jangan kecantikanmu hanya dijadikan perangkap jahat supaya bisa menakhluki hati ikhwan dengan senyuman-senyuman busukmu..Ukhti…tundukan pandanganmu yang jatuh ke bumi tidak menjamin sama dengan tunduknya semangatmu untuk berjihad menundukkan musuh-musuhmu, terlalu banyak musuh yang akan antum hadapi mulai dari musuh-musuh Islam tercinta hinggalah musuh hawa nafsu peribadimu yang selalu haus dan lapar terhadap perbuatan jahatmu..Ukhti…tajamnya tatapanmu yang menusuk hati, menggoda jiwa tidak menjamin sama dengan tajamnya kepekaan dirimu terhadap warga sesamamu yang tertindas di Palestin mahupun Iraq, pernahkah antum menangis ketika mujahid dan mujahidah kecil tertembak mati, atau dengan selambanya membiarkan begitu saja, pernahkah antum merasakan bagaimana rasanya berjihad yang di lakukan oleh para mujahidah-mujahidah teladan..Ukhti…lirikan matamu yang menggetarkan jiwa tidak menjamin dapat menggetarkan hati saudaramu yang suka dan tega bermaksiat, cuba antum perhatikan dunia sekelilingmu masih ramai teman,saudara bahkan keluarga antum sendiri belum merasakan manisnya islam dan iman. Mereka belum merasakan apa yang antum rasakan, boleh jadi salah seorang daripada keluargamu masih gemar bermaksiat, berpakaian seksi dan tidak mengikut syariat juga berperilaku binatang yang tidak keruan, sanggupkah antum menggetarkan hati-hati mereka supaya mereka mampu sama-sama merasakan apa yang kamu rasakan iaitu betapa indah dan lazatnya hidup dalam kemuliaan islam..Ukhti…tebalnya tudung dan jilbabmu tidak menjamin setebal imanmu pada sang khalikmu, antum adalah salah satu sasaran syaitan durjana yang selalu mengintai dari semua penjuru mulai dari depan, belakang, atas mahupun bawah semua syaitan mengintaimu, imanmu dalam bahaya, hatimu dalam ancaman, tidak lama lagi imanmu akan terumbang ambing oleh ombak tipu daya syaitan jika imanmu tidak betul-betul di jaga olehmu, banyak cara yang harus antum lakukan mulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil dan seharusnya dilakukan sejak dari sekarang,bila lagi antum harus cuba….Ukhti…Putihnya kulitmu tidak menjamin seputih hatimu terhadap saudaramu, temanmu bahkan keluargamu sendiri, masihkah hatimu terpelihara dari berbagai penyakit yang merugikan seperti riya’ dan sombong, pernahkah antum membanggakan diri ketika kejayaan dakwah telah diraih dan merasa diri paling gah, merasa diri paling aktif, bahkan merasa diri paling cerdas di antara rata-rata akhawat yang lain, sesombong itukah hatimu?? lalu di manakah beningnya hatimu, dan putihnya cintamu pada Yang Esa?Ukhti…rajinnya belajarmu tidak menjamin serajin infaqmu ke masjid atau musolla, sedarkah antum bahawa kotak-kotak derma dan sedekah di masjid masih terlihat kosong dan mengkhuatirkan, tidakkah antum memikirkan infaq sedikit saja, bahkan kalaupun infaq, kenapa wang yang paling kecil dan paling lusuh yang antum masukkan, mahukah antum di beri rezeki seperti itu?Ukhti…rutinnya halaqahmu tidak menjamin serutin puasa sunat Isnin Khamis yang antum laksanakan , kejujuran hati tidak mampu di bohongi, tika semangat fizikal begitu bergelora untuk di laksanakan tapi, semangat rohani tanpa disedari turun drastik, puasa yaumul bith pun kadang kala dilupakan, apalagi puasa senin Khamis yang di rasakan terlalu rutin dalam seminggu, separah itukah hati antum, makanan fizikal yang antum fikirkan dan ternyata ruhiyah pun memerlukan stok makanan, kita tidak pernah memikirkan bagaimana akibatnya kalau ruhiyah kurang gizi seimbang.Ukhti…manisnya senyummu tak menjamin semanis rasa kasihmu terhadap sesamamu, kadang kala sikap mu terlalu banyak mengecewakan orang sepanjang jalan yang antum lewati, sikap ramahmu pada orang yang antum temui sangat jarang terlihat, bahkan selalu dan selalu terlihat sombong dan menyebalkan, kalau itu kenyataannya bagaimana orang lain akan simpati terhadap komuniti dakwah yang memerlukan banyak sokongan dan kadernya.. ingat!!! Dakwah tidak memerlukan antum tapi… antumlah yang memerlukan dakwah, kita semua memerlukan dakwah‼Ukhti…rajinnya solat malammu tidak menjamin keistiqamah rasulullah sebagai idolamu..Ukhti…ramahnya sikapmu tidak menjamin seramah sikapmu terhadap sang khalikmu, masihkah antum senang bermanja-manjaan dengan tuhanmu dengan solat dhuhamu, solat malammu?Ukhti…dirimu bagaikan kuntuman bunga yang mulai mekar dan mewangi, mahukah nama harummu di sia-siakan begitu saja atau bersediakah antum ketika sang mujahid akan segera menghampirimu..Ukhti…masih ingatkah antum terhadap pepatah yang masih terngiang-ngiang sampai saat ini bahawa akhawat yang baik hanya untuk ikhwan yang baik, jadi siap-siaplah sang syuhada akan menjemputmu di pelaminan hijaumu..Ukhti…Baik buruk parasmu bukanlah satu-satunya jaminan arah tuju kejayaan masuknya kedalam syurga rabbmu.maka, usah berbangga diri dengan parasmu yang molek, tapi berbanggalah ketika iman dan taqwamu sudah betul-betul terasa dan terbukti dalam hidup sehari-harimu..Ukhti…muhasabah yang antum lakukan masihkah terlihat rutin dengan menghitung-hitung kejelekan dan kebusukan kelakuan antum yang di lakukan siang hari, atau bahkan kata muhasabah itu sudah tidak terlintas lagi dalam hatimu, sungguh lupa dan sirna tidak ingat sedikit pun apa yang harus di lakukan sebelum tidur, antum tidur dengan dengkuran begitu saja dan tidak pernah kenal apa itu muhasabah sampai bila akhlak busuk mu di lupakan, kenapa muhasabah tidak di jadikan sebagai saat untuk memperbaiki diri?? bukankah akhawat yang hanya akan mendapatkan ikhwah yang baik?Ukhti…pernahkah antum bercita-cita ingin mendapatkan suami ikhwan yang ideal, wajah yang tampan lagi manis, badan yang sasa,dengan langkah tegap dan pasti, bukankah apa yang antum fikirkan sama dengan yang ikhwan fikirkan iaitu ingin mencari isteri yang solehah dan seorang mujahidah, kenapa tidak dari sekarang antum mempersiapkan diri menjadi seorang mujahidah yang solehah.Ukhti…apakah kebiasaan buruk wanita lain masih ada dan hinggap pada diri antum,seperti bersikap pemalas dan tak punya tujuan atau asyiknya menonton TV yang tidak keruan dan hanya kan mengeraskan hati sampai lupa waktu, lupa membantu orang tua, bilakah antum akan menjadi anak yang birruwaalidain, kalau memang itu sikap antum..sampai bila?? Bila antum akan mendapat gelaran mujahidah atau akhawat solehah??Ukhti…apakah pandanganmu sudah terpelihara, atau pura-pura tunduk ketika melihat seorang ikhwan dan terlepas dari itu matamu kembali liar layaknya mata harimau mencari mangsa, atau tunduknya pandangannmu hanya menjadi alasan belaka kerana merasa bertudung labuh la..Ukhti… hatimu di jendela dunia, dirimu menjadi pusat perhatian semua orang, sanggupkah antum menjaga izzah yang antum milikinya?? atau sebaliknya antum bersikap acuh tak acuh terhadap penilaian orang lain dan hal itu menjadi penyebab rosaknya diri dan akhlak akhawat yang lain, kadang-kadang orang lain akan membuat persepsi bahawa akhawat yang rosak akhlaknya sama sahaja dengan akhawat yang lain, jadi jika antum sendiri membuat kebaculan akhlak maka pasti ia memberi impak pada diri akhawat yang lain juga…Ukhti…dirimu menjadi dambaan semua orang, kerana yakinlah pengemis sekalipun, bahkan perompak sekalipun tidak menginginkan isteri yang akhlaknya buruk tapi semua orang menginginkan isteri yang solehah, siapkah kita sekarang menjadi isteri solehah yang menjadi dambaan pemuda- pemuda mulia?? .
Jumat, 14 Januari 2011
Al-Bakhi dan Si Burung Pincang
Al-Balkhi dan Si Burung Pincang
Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. “Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?”
“Dalam perjalanan”, jawab al-Balkhi, “aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan”.
“Keanehan apa yang kamu maksud?” tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
“Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak”, jawab al-Balkhi menceritakan, “aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. “Bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa”.
“Tidak lama kemudian”, lanjut al-Balkhi, “ada seekor burung lain yang dengan susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat”.
“Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?” tanya Ibrahim bin Adham yang belum mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
“Maka aku pun berkesimpulan”, jawab al-Balkhi seraya bergumam, “bahwa Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja”. Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga”.
Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, “wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?”
Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, “wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang baik”. Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya: “Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud ‘alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri” (HR. Bukhari).
—————————————-
)"Semoga Bermanfa'at"(
Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. “Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?”
“Dalam perjalanan”, jawab al-Balkhi, “aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan”.
“Keanehan apa yang kamu maksud?” tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
“Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak”, jawab al-Balkhi menceritakan, “aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. “Bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa”.
“Tidak lama kemudian”, lanjut al-Balkhi, “ada seekor burung lain yang dengan susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat”.
“Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?” tanya Ibrahim bin Adham yang belum mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
“Maka aku pun berkesimpulan”, jawab al-Balkhi seraya bergumam, “bahwa Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja”. Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga”.
Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, “wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?”
Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, “wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang baik”. Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya: “Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud ‘alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri” (HR. Bukhari).
—————————————-
)"Semoga Bermanfa'at"(

Jumat, 07 Januari 2011
Suara Tangis
Kudengar suara tangis seseorang dari dalam. Aku yang saat itu sedang
menonton putaran siaran langsung sepak bola Liga Inggris, menjadi
tergerak juga untuk mencari dimana sumbernya berada. Aku bangkit dari
depan tv. Kuperiksa kamar utama yang menjadi tempat tidurku bersama
istri. Tidak ada. Langsung aku menuju ke kamar anak kami satu-
satunya, Permata. Benar saja, suara tangis itu berasal dari dalam
kamarnya. Suara isak tangisan Permata sepertinya ditahan-tahan supaya
tidak terlalu didengar oleh orang lain. Namun tetap saja dapat
didengar terutama olehku yang berada di ruang tv, yang tidak berada
jauh dari kamarnya.
"Salam'alaikum sayang…, sedang apa di dalam? Boleh Ayah masuk?"
kataku sambil mengetuk pelan pintu kamarnya.
Tiba-tiba, suara tangisannya menghilang.
"Sayang…, ini Ayah. Bolehkan Ayah masuk?"
Pintu-pun terbuka dengan Permata, anak semata wayangku, di depanku.
Wajahnya memerah dengan mata sembab dan berkaca-kaca. Rambutnya yang
hitam panjang sebahu tampak awut-awutan. Bajunya yang berwarna merah
jambu dengan gambar bunga-bunga kecil, basah oleh air mata dan
keringatnya.
"Loh kok…, kenapa putri Ayah menangis? Biasanya putri Ayah selalu
ceria. Ada apa gerangan? Boleh Ayah tahu ada apa?" kataku yang
langsung berjongkok di depan Permata sambil memegang bahunya dan
menyeka air matanya.
Belum lagi Permata menjawab pertanyaanku. Ia langsung saja menabrakku
dengan pelukannya, lalu menangis kembali dan berkata, "Ibu jahat,
Ayah. Ibu jahat!"
"Loh…, kenapa Ibu jahat? Masa sih, Ibu jahat sama Permata yang cantik
dan baik hati," kataku sambil mengangkat dan menggendongnya lalu
menuju ke tempat tidurnya. Kuletakkan ia di kasur dan aku duduk di
sampingnya. Ku elus-elus rambutnya yang halus seperti sutra.
Kupancarkan senyuman kepadanya untuk mencoba meredakan tangisannya.
Sedikit demi sedikit tangisannya mulai mereda dan akhirnya berhenti.
Wajah Permata memancarkan rasa sedih karena ia barusan dimarahi sama
Ibunya, yaitu istriku. Sebenarnya aku-pun agak heran juga, tidak
biasanya istriku marah terhadap anak semata wayangnya ini. Biasanya
ia sangat lembut dan penuh kasih sayang didalam mengurus Permata.
"Ayah… Ibu kok jahat sama Permata? Tadi Permata dimarahi sama Ibu.
Permata sedih, Ayah. Kenapa Ibu sampai memarahi Permata seperti tadi,
Ayah?" kata Permata sambil mau menangis kembali.
"Eee…, kok mau nangis lagi… Enggak apa-apa kok, Ibu tidak jahat dan
tidak marah sama Permata. Memangnya, kenapa Ibu sampai demikian sama
Permata?"
Permata diam sebentar. "Tadi Permata belum mengerjakan salat lalu
ditegur sama Ibu. Namun, Permata belum juga mengerjakan salat karena
Permata masih mau menyelesaikan PR Permata dulu, Ayah. Lalu Ibu
datang kembali dan menanyakan apakah Permata sudah salat. Setelah Ibu
tahu bahwa Permata belum salat juga, lalu Ibu memarahi Permata.
Permata hanya diam pas dimarahi sama Ibu. Setelah Ibu pergi, Permata
jadi sedih, mengapa Ibu yang biasanya baik sama Permata tapi kali ini
kok tidak. Permata jadi sangat sedih, Ayah."
"Ooo…, begitu. Nah, sekarang Permata sudah salat belum?"
Permata mengangguk.
"Bagus…, itu baru namanya anak Ayah dan Ibu yang cantik dan pintar.
Permata tahu nggak, kenapa Ibu sampai marah sama Permata karena
Permata melalaikan salat. Itu berarti…, Ibu sayang sama Permata. Ayah
dan Ibu memang sangat senang bila anak Ayah dan Ibu rajin didalam
mengerjakan salat. Ayah dan Ibu tidak mau Permata masuk Neraka dan
disiksa sama Allah SWT, nanti di Akhirat. Permata tahu kan, bila ada
orang yang tidak mengerjakan salat maka ia akan disiksa dan
dimasukkan oleh Allah SWT, ke dalam Neraka Jahannam selama-lamanya.
Iiiiihhh…, ngeri kan," kataku menggeliat dan memasang wajah takut
sambil bercanda.
Permata pun tersenyum.
"Ok…, sekarang Permata harus janji…, untuk tidak melalaikan salat
lima waktu lagi, bagaimana?"
"Iya, Ayah. Permata janji tidak akan melalaikan salat lagi," katanya
sambil memelukku.
Aku-pun memeluknya, mencium keningnya sambil berdo'a di dalam
hati, "Ya Allah…, ampuni dosa-dosa kami, ampuni dosa-dosa kedua orang-
tua kami dan jadikanlah keturunan kami, anak-anak yang sholeh dan
sholehah yang ta'at kepada perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu.
Aamiin."
"Ayah…, Ayah…, kata Ibu Guru, di surga itu ada Bidadari ya?"
"Iya, benar."
"Apa Bidadari itu cantik, Ayah?"
"Sangat cantik. Bahkan kecantikannya tiada tara."
"Ayah…, apakah Permata kalau sudah besar nanti akan secantik
bidadari?"
Aku-pun tersenyum. "Iya…, kalau kamu besar nanti akan secantik
Bidadari. Karena kamu, bagi Ayah dan Ibu, adalah Bidadari yang
menghiasi rumah ini." Permata-pun tersenyum. Terlihat gigi-giginya
yang masih belum rapih. "Tapi Permata, kecantikan wajah itu tidaklah
penting, yang terpenting adalah kecantikan hati, disini…, dihati,"
kataku menambahkan sembari menunjuk ke dadanya.
"Iya, Ayah…"
"Sudah ya…, Ayah keluar dulu. Salam'alaikum sayang."
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Ayah," kata Permata
sambil mencium tangan kananku.
Aku-pun keluar dari kamarnya.
Memang. Terkadang didalam rumah-tangga, apabila ada salah satu orang-
tua yang keras didalam mendidik anak-anaknya, maka harus ada orang-
tua yang bersikap lembut sebagai penyeimbangnya. Sehingga nantinya
tidak akan menimbulkan suasana rumah-tangga yang memanas, yang
berdampak akan adanya tekanan mental yang berlebihan pada anggota
keluarga. Kalau bisa, kedua orang-tua haruslah bersikap lembut
didalam mendidik anak-anaknya supaya tidak menurunkan sifat-sifat
kasar dan pemarah pada anak-anaknya nanti.
Di suatu Minggu pagi.
"Ayah…, Permata pamit dulu, ya. Ntar Permata kasih kabar kalau sudah
sampai di tempat piknik lewat Hand Phone Ibu, ya Bu ya…"
"Iya, iya…," kata istriku. "Aku pamit juga, ya Mas," sembari mencium
tangan kananku.
Kami-pun saling berangkulan dan memberi salam.
"Salam'alaikuuum, " kata mereka berdua.
Di hari Minggu ini, sekolahnya Permata mengadakan acara piknik
bersama. Mereka berencana pergi ke Bogor untuk mengunjungi Taman
Safari dan Kebun Raya Bogor. Seharusnya, Aku-pun harus pergi juga
bersama mereka. Namun, Aku sudah memiliki janji yang tidak boleh
kuingkari. Aku sudah janji untuk menemui klien-ku yang membutuhkan
pertolongan untuk dibela di ruang sidang pengadilan . Kasus yang akan
kutangani ini cukup serius. Kasus korupsi yang menelan uang
triliyunan rupiah. Tapi kali ini, aku harus membela si tertuduh
karena si tertuduh telah lebih dahulu meminta tolong kepadaku untuk
melawan pengacara-pengacara terkenal yang membela pemerintah.
Walaupun mungkin, orang yang akan kubela ini memang benar korupsi,
aku harus tetap membelanya sampai berhasil. Aku tahu, membela orang
yang salah adalah salah, tetapi aku tidak punya pilihan lain karena
aku juga sudah terikat sumpah jabatan sebagai pengacara dimana
seorang pengacara harus selalu siap untuk membela semua perkara orang-
orang yang meminta pertolongan jasanya. Itu kode etiknya.
Semua berkas yang telah kupersiapkan tadi malam telah kutaruh di
dalam mobil. Dengan Bismillah, aku-pun berangkat. Baru tiga puluh
menit berlalu saat aku masih menikmati kemacetan di jalan raya.
Telepon genggamku berbunyi.
"Selamat pagi, Pak. Apa benar Bapak yang bernama Muhammad Yusuf?"
"Benar, Pak. Ini dari siapa, ya?"
"Kami dari Kepolisian Satlantas Bogor, Pak. Kami mau mengabarkan
berita duka untuk Bapak."
"DEGGG!!!" Hatiku tersentak kaget. "Berita duka, Pak? Berita duka
apa?"
"Sekarang, di jalan tol menuju Bogor sedang terjadi kecelakaan
beruntun, Pak. Setelah kami melakukan pemeriksaan terhadap para
korban. Teridentifikasi bahwa ada keluarga Bapak, yaitu istri dan
anak Bapak yang menjadi korban kecelakaan. Sekarang mereka telah
dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati dan kini berada di ruang gawat
darurat. Mungkin cuma itu yang bisa kami kabarkan kepada Bapak."
"Innalillahi wa inna Ilaihi roji'un. Allahu Akbar! Istri dan anakku
dalam keadaan kritis. Kendaraan mereka mengalami kecelakaan. Ya
Allah…, masih adakah harapan untuk mereka?" kataku membatin. Cepat
aku membanting setir untuk mencari jalan pintas menuju ke Rumah Sakit
Fatmawati. Tidak kuhiraukan lagi semua rambu-rambu lalu-lintas.
Kunyalakan lampu depan mobil yang menandakan aku dalam keadaan
terdesak waktu.
Sesampainya di Rumah Sakit Fatmawati. Setelah kutanya lewat bagian
informasi dimana pasien yang baru datang akibat kecelakaan di jalan
tol dengan nama istri dan anakku. Mereka menunjuk ke kamar darurat.
Kularikan kakiku dengan cepat untuk sampai disana. Setelah kubuka
pintu ruang darurat itu. Ramai sekali para dokter yang menangani para
korban. Namun, aku masih belum boleh masuk dan diminta untuk menunggu
di ruang tunggu.
"Ya Allah… Selamatkah istri dan anakku? Bagaimanakah keadaan mereka?"
dalam keadaan tidak menentu, aku mencoba menghubungi para keluargaku
untuk memberitahu hal ini serta memberitahu pegawaiku untuk menemui
klienku dan memberitahu bahwa aku berhalangan datang kesana.
"Bapak Muhammad Yusuf!" panggil salah satu dokter.
"Ya, saya Dok."
"Mari ikuti saya, Pak."
Dibawanya aku ke suatu ruangan dokter. "Silahkan duduk, Pak."
"Dokter, bagaimana istri dan anak saya? Bagaimana keadaannya?" kataku
cemas.
"Hhhmmm…" Dokter itu menarik dan menghembuskan nafasnya dalam-
dalam. "Pertama-tama. .., saya ingin mengucapkan ma'af kepada anda
karena kami tidak bisa menolong istri anda, sedangkan anak anda
sekarang dalam keadaan kritis. Kondisinya sekarang koma, banyak
bagian tubuhnya yang remuk dan patah. Untuk saat ini, kami belum bisa
berbuat apa-apa, hanya menunggu perkembangan selanjutnya dari anak
anda."
"Ya Allah… Allahu Akbar! Inna lillahi wa inna Ilaihi roji'un. Telah
Engkau ambil istriku dari sisiku. Dan sekarang, anakku dalam keadaan
kritis."
Tidak bisa kubayangkan apa yang telah terjadi. Tubuhku sudah merasa
lemas semua. Keringat dingin bercucuran bak mata air. Mataku sedikit
berkunang-kunang. Tapi aku masih sadar. Dengan jalan yang bergontai,
aku menuju ke ruang jenazah. Fikiranku sedikit mengambang. Tapi aku
berusaha untuk terus sadar.
Sesampainya di kamar jenazah. Kulihat jasad-jasad kaku terbujur di
tempat tidur ditutupi kain berwarna putih. Suara tangisan dari
keluarga yang lain seperti mau membelah bumi. Kucari istriku. Pas di
pojok dinding, kulihat wajah yang tidak asing lagi. Wajah yang dulu
penuh cinta kepadaku. Wajah yang dulu selalu tersenyum kepadaku.
Wajah yang dulu penuh rasa sabar mendampingiku disaat susah. Wajah
yang dulu pernah bersamaku, berjanji menjalin ikatan suci di
pelaminan. Wajah itu, wajah istriku. Kudatangi perlahan jasadnya.
Kupandangi wajahnya. "Ohhh…, aku tak sanggup. Hatiku menjerit.
Tangisanku mau meledak. Tapi kalau saja aku tidak ingat sama Tuhan.
Aku pasti sudah bergabung dengan orang-orang yang meratapi kepergian
keluarganya itu. Aku berusaha tersenyum melihat wajah istriku. Kusapa
ia dengan salam. Kuucapkan do'a untuknya supaya ia mendapat ampunan
dari Allah swt dan tempat yang layak di sisi-Nya. Setelah itu kukecup
keningnya. Kututupi wajahnya dengan kain putih. Sekali lagi. Ku
berdo'a untuknya.
Kembali aku menuju ke ruangan gawat darurat. Saat menuju kesana.
Datang serombongan keluargaku dan keluarga istriku. Mereka memelukku
satu persatu. Mencium pipi dan keningku dan berusaha menghiburku.
Sebagian dari keluargaku dan keluarga istriku menangis. Langsung saja
aku menunjukkan dimana jasad istriku berada. Sebagian kesana dan
sebagian lagi ikut denganku ke ruang gawat darurat, dimana Permata
berada.
Sampai sore hari, Permata belum boleh dikunjungi. Baru setelah malam
harinya, kami boleh masuk ke kamarnya dirawat.
"Permata sayang, ini Ayah. Permata sayang, ma'afkan Ayah, Nak.
Ma'afkan Ayah…" kataku lirih dan tidak dapat meneruskan kata-kata.
Yang kubisa hanya membelai lembut kepalanya yang sudah dicukur botak
karena ada jahitan di kepalanya.
Pas jam sepuluh malam.
"Aayaaahhh…" suara Permata pelan.
Kami yang sudah duduk di kursi langsung berhamburan menghampiri
Permata.
"Iya, sayang. Iya, sayang. Ini Ayah, sayang."
"Aayaaahhh… Sakiiitt."
"Iya sayang. Ayah tahu. Sabar ya… Insya Allah, Allah akan
menyembuhkan Permata."
"Aayaaahhh… Ibu mana…?"
Ya Allah…, mendengar anakku bertanya tentang Ibunya, aku hanya bisa
diam.
"Aayaaahhh… Ibu mana…?"
"Ibu…, Ibu ada sayang..., tapi sekarang sedang tidak disini."
Permata diam. Matanya melirik kesana dan kemari seperti mencari
sesuatu. Sesaat, bibirnya bergerak tersenyum.
"Ayah… Bidadari itu sudah datang. Mereka melihat kepadaku, Ayah.
Wajahnya sangat cantik sekali, Ayah."
Aku dan keluargaku bingung. Kami tidak bisa melihat apa-apa.
"Sayang…, Bidadarinya mungkin datang untuk mendo'kan Permata. Mereka
sangat senang bila Permata sehat," kataku untuk menghiburnya.
"Tidak, Ayah. Kata mereka, mereka datang untuk menjemput Permata.
Mereka tersenyum pada Permata, Ayah."
"Ya Allah…, apakah ini yang dinamakan ajal dengan malaikat mautnya
yang akan menjemput anakku? Kalau memang iya, tidak ada yang bisa aku
lakukan kecuali membantunya mengucapkan kalimat tauhid."
"Ayah…, Bidadarinya menghampiri Permata. Mereka menjulurkan
tangannya, Ayah."
"Permata. Bidadarinya mungkin mau mengajak Permata bermain-main ke
surga. Kalau begitu, Permata harus siap ya sayang. Mari Ayah bimbing,
coba Permata mengucapkan kalimat dua syahadat seperti yang telah Ayah
ajarkan. Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah… wa ash-hadu anna muhammad
rasulullah…"
"Ash-hadu an laa… ilaaha illa Allah… wa ash-hadu anna… muhammad
rasulullah…" Dengan terbata-bata, akhirnya Permata dapat mengucapkan
kalimat tauhid dengan lancar.
Tanpa kalimat tauhid yang sempat terucap sebelum mati, sangat
mustahil seorang Muslim akan masuk surga. Kalimat tauhid merupakan
kuncinya pintu surga. Dan jika seseorang belum juga mengucapkan
kalimat tauhid sebelum ajalnya tiba, maka ia dipastikan mati dalam
keadaan kafir. Neraka-lah tempatnya. Na'udzubillahi min dzalik.
Perlahan…, mata Permata sedikit demi sedikit tertutup. Kulit tubuhnya
berangsur-angsur memucat, dingin. Sebuah senyum manis terukir di
bibirnya. Wajahnya ceria. Ia telah puas. Puas bertemu dengan Bidadari
yang sangat cantik. Bidadari yang selalu diimpikannya untuk bertemu.
Semua keluargaku menangis. Hanya aku yang tersenyum. Kuusap wajah
Permata dan mentelungkupkan tangannya ke dadanya seperti ia sedang
salat. Kuciumi keningnya sekali lagi dan sambil berucap, "Tidurlah
dengan tenang, sayang. Temani Ibumu yang sudah menunggu disana.
Katakan pada Ibumu. Aku menyayangi kalian berdua. Dan semoga Allah
swt, juga mengasihi kalian berdua. Selamat jalan sayang. Inna lillahi
wa inna ilaihi roji'un."
Kutarik nafas panjang. Semua keluargaku memelukku. Kemudian aku
keluar dari kamar itu. Kucari sebuah musholla. Lalu disana aku
mengadu kesedihan kepada-Nya.
Besoknya. Kukuburkan jenazah istri dan anakku berdampingan di sebuah
pemakaman khusus untuk keluarga. Saat itu, suasana begitu teduh
disana. Pepohonan yang rimbun menambah kesejukan disekitarnya.
Terdengar suara burung-burung berkicauan di atas pohon sana. Harumnya
bunga melati dan kamboja, menusuk hidung mewangikan sekitar.
Setelah acara pemakaman selesai. Kini yang tinggal disitu hanyalah
Aku. Kupandangi dua makam yang berisi orang yang sangat kusayangi.
Sekali lagi, kubacakan do'a-do'a untuk mereka berdua sambil melihat
ke sebidang ruang tanah lagi di samping makam mereka berdua…, dimana
itu nanti…, adalah tempatku kelak.
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
"Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan
beramal saleh ke dalam surga-surga yang sungai-sungai mengalir di
bawahnya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (Q.S.
al-Hajj : 14).
"Di dalamnya ada bidadari yang menundukkan pandangannya yang belum
pernah disentuh manusia dan jin sebelumnya. Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan? Mereka laksana permata yaqut dan merjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tiadalah balasan
kebaikan itu melainkan kebaikan (pula). Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?" (Q.S. ar-Rahmaan : 56 – 61).
menonton putaran siaran langsung sepak bola Liga Inggris, menjadi
tergerak juga untuk mencari dimana sumbernya berada. Aku bangkit dari
depan tv. Kuperiksa kamar utama yang menjadi tempat tidurku bersama
istri. Tidak ada. Langsung aku menuju ke kamar anak kami satu-
satunya, Permata. Benar saja, suara tangis itu berasal dari dalam
kamarnya. Suara isak tangisan Permata sepertinya ditahan-tahan supaya
tidak terlalu didengar oleh orang lain. Namun tetap saja dapat
didengar terutama olehku yang berada di ruang tv, yang tidak berada
jauh dari kamarnya.
"Salam'alaikum sayang…, sedang apa di dalam? Boleh Ayah masuk?"
kataku sambil mengetuk pelan pintu kamarnya.
Tiba-tiba, suara tangisannya menghilang.
"Sayang…, ini Ayah. Bolehkan Ayah masuk?"
Pintu-pun terbuka dengan Permata, anak semata wayangku, di depanku.
Wajahnya memerah dengan mata sembab dan berkaca-kaca. Rambutnya yang
hitam panjang sebahu tampak awut-awutan. Bajunya yang berwarna merah
jambu dengan gambar bunga-bunga kecil, basah oleh air mata dan
keringatnya.
"Loh kok…, kenapa putri Ayah menangis? Biasanya putri Ayah selalu
ceria. Ada apa gerangan? Boleh Ayah tahu ada apa?" kataku yang
langsung berjongkok di depan Permata sambil memegang bahunya dan
menyeka air matanya.
Belum lagi Permata menjawab pertanyaanku. Ia langsung saja menabrakku
dengan pelukannya, lalu menangis kembali dan berkata, "Ibu jahat,
Ayah. Ibu jahat!"
"Loh…, kenapa Ibu jahat? Masa sih, Ibu jahat sama Permata yang cantik
dan baik hati," kataku sambil mengangkat dan menggendongnya lalu
menuju ke tempat tidurnya. Kuletakkan ia di kasur dan aku duduk di
sampingnya. Ku elus-elus rambutnya yang halus seperti sutra.
Kupancarkan senyuman kepadanya untuk mencoba meredakan tangisannya.
Sedikit demi sedikit tangisannya mulai mereda dan akhirnya berhenti.
Wajah Permata memancarkan rasa sedih karena ia barusan dimarahi sama
Ibunya, yaitu istriku. Sebenarnya aku-pun agak heran juga, tidak
biasanya istriku marah terhadap anak semata wayangnya ini. Biasanya
ia sangat lembut dan penuh kasih sayang didalam mengurus Permata.
"Ayah… Ibu kok jahat sama Permata? Tadi Permata dimarahi sama Ibu.
Permata sedih, Ayah. Kenapa Ibu sampai memarahi Permata seperti tadi,
Ayah?" kata Permata sambil mau menangis kembali.
"Eee…, kok mau nangis lagi… Enggak apa-apa kok, Ibu tidak jahat dan
tidak marah sama Permata. Memangnya, kenapa Ibu sampai demikian sama
Permata?"
Permata diam sebentar. "Tadi Permata belum mengerjakan salat lalu
ditegur sama Ibu. Namun, Permata belum juga mengerjakan salat karena
Permata masih mau menyelesaikan PR Permata dulu, Ayah. Lalu Ibu
datang kembali dan menanyakan apakah Permata sudah salat. Setelah Ibu
tahu bahwa Permata belum salat juga, lalu Ibu memarahi Permata.
Permata hanya diam pas dimarahi sama Ibu. Setelah Ibu pergi, Permata
jadi sedih, mengapa Ibu yang biasanya baik sama Permata tapi kali ini
kok tidak. Permata jadi sangat sedih, Ayah."
"Ooo…, begitu. Nah, sekarang Permata sudah salat belum?"
Permata mengangguk.
"Bagus…, itu baru namanya anak Ayah dan Ibu yang cantik dan pintar.
Permata tahu nggak, kenapa Ibu sampai marah sama Permata karena
Permata melalaikan salat. Itu berarti…, Ibu sayang sama Permata. Ayah
dan Ibu memang sangat senang bila anak Ayah dan Ibu rajin didalam
mengerjakan salat. Ayah dan Ibu tidak mau Permata masuk Neraka dan
disiksa sama Allah SWT, nanti di Akhirat. Permata tahu kan, bila ada
orang yang tidak mengerjakan salat maka ia akan disiksa dan
dimasukkan oleh Allah SWT, ke dalam Neraka Jahannam selama-lamanya.
Iiiiihhh…, ngeri kan," kataku menggeliat dan memasang wajah takut
sambil bercanda.
Permata pun tersenyum.
"Ok…, sekarang Permata harus janji…, untuk tidak melalaikan salat
lima waktu lagi, bagaimana?"
"Iya, Ayah. Permata janji tidak akan melalaikan salat lagi," katanya
sambil memelukku.
Aku-pun memeluknya, mencium keningnya sambil berdo'a di dalam
hati, "Ya Allah…, ampuni dosa-dosa kami, ampuni dosa-dosa kedua orang-
tua kami dan jadikanlah keturunan kami, anak-anak yang sholeh dan
sholehah yang ta'at kepada perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu.
Aamiin."
"Ayah…, Ayah…, kata Ibu Guru, di surga itu ada Bidadari ya?"
"Iya, benar."
"Apa Bidadari itu cantik, Ayah?"
"Sangat cantik. Bahkan kecantikannya tiada tara."
"Ayah…, apakah Permata kalau sudah besar nanti akan secantik
bidadari?"
Aku-pun tersenyum. "Iya…, kalau kamu besar nanti akan secantik
Bidadari. Karena kamu, bagi Ayah dan Ibu, adalah Bidadari yang
menghiasi rumah ini." Permata-pun tersenyum. Terlihat gigi-giginya
yang masih belum rapih. "Tapi Permata, kecantikan wajah itu tidaklah
penting, yang terpenting adalah kecantikan hati, disini…, dihati,"
kataku menambahkan sembari menunjuk ke dadanya.
"Iya, Ayah…"
"Sudah ya…, Ayah keluar dulu. Salam'alaikum sayang."
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Ayah," kata Permata
sambil mencium tangan kananku.
Aku-pun keluar dari kamarnya.
Memang. Terkadang didalam rumah-tangga, apabila ada salah satu orang-
tua yang keras didalam mendidik anak-anaknya, maka harus ada orang-
tua yang bersikap lembut sebagai penyeimbangnya. Sehingga nantinya
tidak akan menimbulkan suasana rumah-tangga yang memanas, yang
berdampak akan adanya tekanan mental yang berlebihan pada anggota
keluarga. Kalau bisa, kedua orang-tua haruslah bersikap lembut
didalam mendidik anak-anaknya supaya tidak menurunkan sifat-sifat
kasar dan pemarah pada anak-anaknya nanti.
Di suatu Minggu pagi.
"Ayah…, Permata pamit dulu, ya. Ntar Permata kasih kabar kalau sudah
sampai di tempat piknik lewat Hand Phone Ibu, ya Bu ya…"
"Iya, iya…," kata istriku. "Aku pamit juga, ya Mas," sembari mencium
tangan kananku.
Kami-pun saling berangkulan dan memberi salam.
"Salam'alaikuuum, " kata mereka berdua.
Di hari Minggu ini, sekolahnya Permata mengadakan acara piknik
bersama. Mereka berencana pergi ke Bogor untuk mengunjungi Taman
Safari dan Kebun Raya Bogor. Seharusnya, Aku-pun harus pergi juga
bersama mereka. Namun, Aku sudah memiliki janji yang tidak boleh
kuingkari. Aku sudah janji untuk menemui klien-ku yang membutuhkan
pertolongan untuk dibela di ruang sidang pengadilan . Kasus yang akan
kutangani ini cukup serius. Kasus korupsi yang menelan uang
triliyunan rupiah. Tapi kali ini, aku harus membela si tertuduh
karena si tertuduh telah lebih dahulu meminta tolong kepadaku untuk
melawan pengacara-pengacara terkenal yang membela pemerintah.
Walaupun mungkin, orang yang akan kubela ini memang benar korupsi,
aku harus tetap membelanya sampai berhasil. Aku tahu, membela orang
yang salah adalah salah, tetapi aku tidak punya pilihan lain karena
aku juga sudah terikat sumpah jabatan sebagai pengacara dimana
seorang pengacara harus selalu siap untuk membela semua perkara orang-
orang yang meminta pertolongan jasanya. Itu kode etiknya.
Semua berkas yang telah kupersiapkan tadi malam telah kutaruh di
dalam mobil. Dengan Bismillah, aku-pun berangkat. Baru tiga puluh
menit berlalu saat aku masih menikmati kemacetan di jalan raya.
Telepon genggamku berbunyi.
"Selamat pagi, Pak. Apa benar Bapak yang bernama Muhammad Yusuf?"
"Benar, Pak. Ini dari siapa, ya?"
"Kami dari Kepolisian Satlantas Bogor, Pak. Kami mau mengabarkan
berita duka untuk Bapak."
"DEGGG!!!" Hatiku tersentak kaget. "Berita duka, Pak? Berita duka
apa?"
"Sekarang, di jalan tol menuju Bogor sedang terjadi kecelakaan
beruntun, Pak. Setelah kami melakukan pemeriksaan terhadap para
korban. Teridentifikasi bahwa ada keluarga Bapak, yaitu istri dan
anak Bapak yang menjadi korban kecelakaan. Sekarang mereka telah
dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati dan kini berada di ruang gawat
darurat. Mungkin cuma itu yang bisa kami kabarkan kepada Bapak."
"Innalillahi wa inna Ilaihi roji'un. Allahu Akbar! Istri dan anakku
dalam keadaan kritis. Kendaraan mereka mengalami kecelakaan. Ya
Allah…, masih adakah harapan untuk mereka?" kataku membatin. Cepat
aku membanting setir untuk mencari jalan pintas menuju ke Rumah Sakit
Fatmawati. Tidak kuhiraukan lagi semua rambu-rambu lalu-lintas.
Kunyalakan lampu depan mobil yang menandakan aku dalam keadaan
terdesak waktu.
Sesampainya di Rumah Sakit Fatmawati. Setelah kutanya lewat bagian
informasi dimana pasien yang baru datang akibat kecelakaan di jalan
tol dengan nama istri dan anakku. Mereka menunjuk ke kamar darurat.
Kularikan kakiku dengan cepat untuk sampai disana. Setelah kubuka
pintu ruang darurat itu. Ramai sekali para dokter yang menangani para
korban. Namun, aku masih belum boleh masuk dan diminta untuk menunggu
di ruang tunggu.
"Ya Allah… Selamatkah istri dan anakku? Bagaimanakah keadaan mereka?"
dalam keadaan tidak menentu, aku mencoba menghubungi para keluargaku
untuk memberitahu hal ini serta memberitahu pegawaiku untuk menemui
klienku dan memberitahu bahwa aku berhalangan datang kesana.
"Bapak Muhammad Yusuf!" panggil salah satu dokter.
"Ya, saya Dok."
"Mari ikuti saya, Pak."
Dibawanya aku ke suatu ruangan dokter. "Silahkan duduk, Pak."
"Dokter, bagaimana istri dan anak saya? Bagaimana keadaannya?" kataku
cemas.
"Hhhmmm…" Dokter itu menarik dan menghembuskan nafasnya dalam-
dalam. "Pertama-tama. .., saya ingin mengucapkan ma'af kepada anda
karena kami tidak bisa menolong istri anda, sedangkan anak anda
sekarang dalam keadaan kritis. Kondisinya sekarang koma, banyak
bagian tubuhnya yang remuk dan patah. Untuk saat ini, kami belum bisa
berbuat apa-apa, hanya menunggu perkembangan selanjutnya dari anak
anda."
"Ya Allah… Allahu Akbar! Inna lillahi wa inna Ilaihi roji'un. Telah
Engkau ambil istriku dari sisiku. Dan sekarang, anakku dalam keadaan
kritis."
Tidak bisa kubayangkan apa yang telah terjadi. Tubuhku sudah merasa
lemas semua. Keringat dingin bercucuran bak mata air. Mataku sedikit
berkunang-kunang. Tapi aku masih sadar. Dengan jalan yang bergontai,
aku menuju ke ruang jenazah. Fikiranku sedikit mengambang. Tapi aku
berusaha untuk terus sadar.
Sesampainya di kamar jenazah. Kulihat jasad-jasad kaku terbujur di
tempat tidur ditutupi kain berwarna putih. Suara tangisan dari
keluarga yang lain seperti mau membelah bumi. Kucari istriku. Pas di
pojok dinding, kulihat wajah yang tidak asing lagi. Wajah yang dulu
penuh cinta kepadaku. Wajah yang dulu selalu tersenyum kepadaku.
Wajah yang dulu penuh rasa sabar mendampingiku disaat susah. Wajah
yang dulu pernah bersamaku, berjanji menjalin ikatan suci di
pelaminan. Wajah itu, wajah istriku. Kudatangi perlahan jasadnya.
Kupandangi wajahnya. "Ohhh…, aku tak sanggup. Hatiku menjerit.
Tangisanku mau meledak. Tapi kalau saja aku tidak ingat sama Tuhan.
Aku pasti sudah bergabung dengan orang-orang yang meratapi kepergian
keluarganya itu. Aku berusaha tersenyum melihat wajah istriku. Kusapa
ia dengan salam. Kuucapkan do'a untuknya supaya ia mendapat ampunan
dari Allah swt dan tempat yang layak di sisi-Nya. Setelah itu kukecup
keningnya. Kututupi wajahnya dengan kain putih. Sekali lagi. Ku
berdo'a untuknya.
Kembali aku menuju ke ruangan gawat darurat. Saat menuju kesana.
Datang serombongan keluargaku dan keluarga istriku. Mereka memelukku
satu persatu. Mencium pipi dan keningku dan berusaha menghiburku.
Sebagian dari keluargaku dan keluarga istriku menangis. Langsung saja
aku menunjukkan dimana jasad istriku berada. Sebagian kesana dan
sebagian lagi ikut denganku ke ruang gawat darurat, dimana Permata
berada.
Sampai sore hari, Permata belum boleh dikunjungi. Baru setelah malam
harinya, kami boleh masuk ke kamarnya dirawat.
"Permata sayang, ini Ayah. Permata sayang, ma'afkan Ayah, Nak.
Ma'afkan Ayah…" kataku lirih dan tidak dapat meneruskan kata-kata.
Yang kubisa hanya membelai lembut kepalanya yang sudah dicukur botak
karena ada jahitan di kepalanya.
Pas jam sepuluh malam.
"Aayaaahhh…" suara Permata pelan.
Kami yang sudah duduk di kursi langsung berhamburan menghampiri
Permata.
"Iya, sayang. Iya, sayang. Ini Ayah, sayang."
"Aayaaahhh… Sakiiitt."
"Iya sayang. Ayah tahu. Sabar ya… Insya Allah, Allah akan
menyembuhkan Permata."
"Aayaaahhh… Ibu mana…?"
Ya Allah…, mendengar anakku bertanya tentang Ibunya, aku hanya bisa
diam.
"Aayaaahhh… Ibu mana…?"
"Ibu…, Ibu ada sayang..., tapi sekarang sedang tidak disini."
Permata diam. Matanya melirik kesana dan kemari seperti mencari
sesuatu. Sesaat, bibirnya bergerak tersenyum.
"Ayah… Bidadari itu sudah datang. Mereka melihat kepadaku, Ayah.
Wajahnya sangat cantik sekali, Ayah."
Aku dan keluargaku bingung. Kami tidak bisa melihat apa-apa.
"Sayang…, Bidadarinya mungkin datang untuk mendo'kan Permata. Mereka
sangat senang bila Permata sehat," kataku untuk menghiburnya.
"Tidak, Ayah. Kata mereka, mereka datang untuk menjemput Permata.
Mereka tersenyum pada Permata, Ayah."
"Ya Allah…, apakah ini yang dinamakan ajal dengan malaikat mautnya
yang akan menjemput anakku? Kalau memang iya, tidak ada yang bisa aku
lakukan kecuali membantunya mengucapkan kalimat tauhid."
"Ayah…, Bidadarinya menghampiri Permata. Mereka menjulurkan
tangannya, Ayah."
"Permata. Bidadarinya mungkin mau mengajak Permata bermain-main ke
surga. Kalau begitu, Permata harus siap ya sayang. Mari Ayah bimbing,
coba Permata mengucapkan kalimat dua syahadat seperti yang telah Ayah
ajarkan. Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah… wa ash-hadu anna muhammad
rasulullah…"
"Ash-hadu an laa… ilaaha illa Allah… wa ash-hadu anna… muhammad
rasulullah…" Dengan terbata-bata, akhirnya Permata dapat mengucapkan
kalimat tauhid dengan lancar.
Tanpa kalimat tauhid yang sempat terucap sebelum mati, sangat
mustahil seorang Muslim akan masuk surga. Kalimat tauhid merupakan
kuncinya pintu surga. Dan jika seseorang belum juga mengucapkan
kalimat tauhid sebelum ajalnya tiba, maka ia dipastikan mati dalam
keadaan kafir. Neraka-lah tempatnya. Na'udzubillahi min dzalik.
Perlahan…, mata Permata sedikit demi sedikit tertutup. Kulit tubuhnya
berangsur-angsur memucat, dingin. Sebuah senyum manis terukir di
bibirnya. Wajahnya ceria. Ia telah puas. Puas bertemu dengan Bidadari
yang sangat cantik. Bidadari yang selalu diimpikannya untuk bertemu.
Semua keluargaku menangis. Hanya aku yang tersenyum. Kuusap wajah
Permata dan mentelungkupkan tangannya ke dadanya seperti ia sedang
salat. Kuciumi keningnya sekali lagi dan sambil berucap, "Tidurlah
dengan tenang, sayang. Temani Ibumu yang sudah menunggu disana.
Katakan pada Ibumu. Aku menyayangi kalian berdua. Dan semoga Allah
swt, juga mengasihi kalian berdua. Selamat jalan sayang. Inna lillahi
wa inna ilaihi roji'un."
Kutarik nafas panjang. Semua keluargaku memelukku. Kemudian aku
keluar dari kamar itu. Kucari sebuah musholla. Lalu disana aku
mengadu kesedihan kepada-Nya.
Besoknya. Kukuburkan jenazah istri dan anakku berdampingan di sebuah
pemakaman khusus untuk keluarga. Saat itu, suasana begitu teduh
disana. Pepohonan yang rimbun menambah kesejukan disekitarnya.
Terdengar suara burung-burung berkicauan di atas pohon sana. Harumnya
bunga melati dan kamboja, menusuk hidung mewangikan sekitar.
Setelah acara pemakaman selesai. Kini yang tinggal disitu hanyalah
Aku. Kupandangi dua makam yang berisi orang yang sangat kusayangi.
Sekali lagi, kubacakan do'a-do'a untuk mereka berdua sambil melihat
ke sebidang ruang tanah lagi di samping makam mereka berdua…, dimana
itu nanti…, adalah tempatku kelak.
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
"Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan
beramal saleh ke dalam surga-surga yang sungai-sungai mengalir di
bawahnya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (Q.S.
al-Hajj : 14).
"Di dalamnya ada bidadari yang menundukkan pandangannya yang belum
pernah disentuh manusia dan jin sebelumnya. Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan? Mereka laksana permata yaqut dan merjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tiadalah balasan
kebaikan itu melainkan kebaikan (pula). Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?" (Q.S. ar-Rahmaan : 56 – 61).

Kamis, 06 Januari 2011
BIODATA
Nama : Murni saraswati 3b
Tempat/tgl lahir : Negararatu,03 Desember 1991
Alamat : Ratu jaya - Sungkai Tengah
Hoby : Membaca Novel Islami
Cita-cita : Menjadi Dosen Bahasa Inggris
Pendidikan
· SD : SDN 01 Pampang Tangguk Jaya – Sungkai Utara
· SMP/MTs : MTsN Padang Ratu – Sungkai Utara
· SMA/MA : MAN Padang Ratu – Sungkai Utara
· Perguruan Tinggi : STKIP Muhammadiyah Kotabumi – Lampung
Langganan:
Postingan (Atom)